Dahulu kala, ada sebuah keluarga yang miskin tinggalnya dekat Sungai Cerucuk di Bangka Belitung. Keluarga tersebut terdiri dari seorang ayah dan ibu yang sudah tua serta seorang anak laki-laki.
Anak laki-laki itu bernama Kulup. Ia dan kedua orang tuanya hidup dalam kemiskinan. Meskipun demikian, mereka tidak pernah merasa menderita. Sang ayah bekerja sebagai pencari kayu bakar, sementara sang ibu si bekerja keras di ladang.
Kulup selalu membantu ayah dan ibunya dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Dia sangat rajin membantu dan bekerja keras untuk memastikan bahwa ayah dan ibunya tidak terlalu banyak bekerja. Mereka bersyukur dengan kehidupan mereka meskipun situasi keuangan mereka jauh dari memadai.
Suatu pagi, sang ayah melakukan apa yang dia lakukan setiap pagi dan pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Selain itu, dia juga mencari rebung untuk memasak. Dia menemukan sebuah tongkat di rumpun bambu saat dia sedang dalam menebang rebung.
Ia melihat tongkat itu, tetapi tampaknya tidak ada sesuatu yang menarik. Setelah itu, ia berusaha membersihkan tongkat itu. Setelah dibersihkan, ternyata tongkat itu sekarang dilapisi dengan berlian yang berkilauan dan sangat indah.
“Wah, tongkat siapa ini? Mengapa terlihat begitu indah dengan berlian? Aku tidak mengerti” gumam pria tua itu.
Dia tidak mengerti apa yang harus dia lakukan dengan tongkat itu. Pada akhirnya, dia membuat keputusan untuk membawanya pulang ke rumah.
“Baiklah, sebaiknya aku membawanya pulang dulu. Aku akan bertanya kepada kulup dan istriku,” ucapnya dalam hati.
Sesampainya di rumah, pria tua itu tidak menemukan siapa pun di sana karena rumah dalam keadaan sepi. Sementara itu istrinya dan Kulup masih bekerja di ladang. Ia pun bergegas menuju ladang yang terletak tidak jauh dari rumahnya.
Saat sudah hampir dekat, sang ayah berteriak memanggil istrinya dan putranya, “Istriku! Kulup! Kemarilah, aku punya sesuatu,” teriaknya.
“Kulup, apa yang terjadi dengan ayahmu? Mengapa dia berteriak seperti itu?” tanya sang ibu pada Kulup.
“Entahlah, Bu. Aku juga tidak tahu. Sepertinya ayah membawa sesuatu,” kata kulup sambil melihat sang ayah mendekat.
Sang ayah berkata kepada istrinya dan kulupnya, “Istriku, kulup, lihatlah ini. Ayah menemukan sesuatu saat mencari rebung,” sambil menunjuk ke arah tongkat.
“wah, tongkat yang indah sekali. Tongkat itu milik siapa?” tanya sang istri.
“Bagaimana kalau kita serahkan kepada pemiliknya?” tambahnya.
“Aku tidak tahu tongkat ini milik siapa. Aku menemukannya di rumpun bambu,” ucap sang suami.
“Mengapa kita tidak simpan saja tongkat ini untuk saat ini? Mungkin pemiliknya sedang bingung dan mencarinya,” lanjutnya berspekulasi.
“Tapi di mana kita menyimpan tongkat berharga itu? Kita tidak punya tempat yang cukup aman menyimpannya. Sayang jika ada orang lain mencurinya,” jelas Kulup.
Mereka berunding selama beberapa waktu di pinggir ladang tentang apa yang harus mereka lakukan dengan tongkat itu. Tak lama kemudian, si kulup mendapatkan ide.
“Bagaimana kalau kita jual saja, yah? Mungkin saja ada yang akan membayar dengan harga tinggi untuk itu. Dengan cara ini, kita akan dapat memperbaiki gubuk kita,” kata Kulup.
Setelah mempertimbangkan, mereka akhirnya membuat kesepakatan untuk menjual tongkat tersebut. “Besok, izinkan aku saja yang pergi ke kota negeri seberang untuk menjual tongkat ini,” kata Kulup pada kedua orang tuanya.
Keesokan harinya, Kulup berpamitan kepada orang tuanya. “Ayah, Ibu, di sana aku akan mencari saudagar kaya yang mau membeli tongkat ini. Jika sudah ketemu pembelinya, aku akan pulang,” kata Kulup yang kemudian mencium tangan kedua orang tuanya.
“Berhati-hatilah, Nak. Dan pulanglah dengan selamat,” kata sang ibu sambil memberikan beberapa perlengkapan kepada si Kulup.
Setelah itu, ia berangkat ke kota sambil membawa tongkat yang disembunyikan di dalam tas. Untuk sampai ke seberang, dia harus pergi ke sana dengan menggunakan perahu dan melewati Sungai Piling. Segera setelah ia tiba di kota, ia menemukan sebuah toko yang khusus menjual barang antik.
Setelah masuk ke dalam toko, dia menunjukkan tongkatnya kepada pemiliknya. “Tuan, aku ingin menjual tongkat ini. Kira-kira berapa banyak uang yang bisa aku dapatkan?” tanya Kulup sambil mengeluarkan tongkatnya.
Ada seorang saudagar kaya yang sedang melihat-lihat toko. Secara kebetulan dia melihat sebuah tongkat milik kulup. Saudagara itu berkata, “Wow, itu adalah tongkat yang bagus, saya ingin membelinya,” ucap sang saudagar.
Kulup menerima hasil penjualan yang sangat banyak dari tongkat itu. Namun, ia tetap tinggal di kota dan tidak kembali ke rumahnya. Dia membeli sebuah rumah mewah dan dengan cepat menjadi saudagar di sana.
Bahkan, ia menikahi putri dari saudagar terkaya di kota itu. Oleh karena itu, kekayaan Kulup terus meningkat. Kulup mengaku bahwa dia adalah putra seorang saudagar kaya di tempat asing kepada istri dan mertuanya.
Sementara itu, orang tua kulup merindukan kepulangan anak mereka sepanjang hari. Mereka rindu bukan karena uang, tapi mereka khawatir dengan anaknya yang tidak tahu di mana dia berada.
“Sudah satu tahun lamanya anak kita tidak pulang. Apakah sesuatu yang buruk terjadi padanya?” tanya sang istri pada suaminya.
“Tolong, jangan berpikir seperti itu, istriku. Mari kita berdoa saja agar anak kita pulang dengan selamat,” kata sang suami.
“Baiklah, Suamiku,” ucap sang istri dengan ekspresi sedih di wajahnya.
Setelah beberapa tahun, calon mertua Kulup memintanya untuk berlayar ke Negeri seberang di dekat Sungai Cerucuk, yang merupakan kampung halaman Kulup. “Menantuku, berlayarlah ke Negeri Seberang di Sungai Cerucuk. Bawalah ternak untuk pembekalan. Kemudian kita harus mendapatkan sumber daya alam di sana agar bisa kita jual di sini,” kata mertua si Kulup.
Sang kulup tertegun dalam keheningan sejenak. Ketika dia kembali ke rumah masa kecilnya, dia tidak mampu menghadapi kemungkinan identitas aslinya terungkap. Tetapi, dia tidak bisa mengatakan “tidak” atas permintaan yang diajukan oleh sang mertua. Selain itu, sang istri juga ingin ikut pergi berlayar.
Istri Kulup itu memohon kepada ayahnya untuk mengizinkannya berlayar ke negeri seberang dengan suaminya. “Ayah, izinkan aku ikut suamiku ke Negeri Seberang ya. Aku tidak bisa berpisah jauh dari suamiku, yah” kata sang istri.
Sang mertua tidak punya pilihan lain selain menerima. Begitu pula si Kulup, ia tidak punya pilihan selain menuruti apa pun yang dikatakan istri dan mertuanya.
Keesokan harinya, Kulup memulai perjalanan mereka bersama istrinya dan para pengawal dengan kapal yang sangat mewah ke Sungai Cerucuk. Selama perjalanan, kulup tidak pernah berbicara sama sekali. Ia memikirkan nasibnya ketika sampai di kampung halamannya.
“Suamiku, ada apa denganmu? Kenapa kamu tampak gelisah?” tanya sang istri.
“Tak perlu khawatir, Istriku. Aku hanya sedang tak enak badan,” ucapnya berbohong.
Setelah sehari semalam perjalanan, tibalah rombongan kapal sampai di muara Sungai Piling. Saat berada di atas kapal, Kulup memantau situasi di luar kapal. “Rupanya desa ini mengalami banyak perubahan,” gumamnya.
“Apa yang kamu katakan, Suamiku? Aku tidak mendengarnya,” tanya sang istri.
“Ah, tidak apa-apa, Istriku. Aku hanya menikmati pemandangan di sini,” ucap Kulup.
Para penduduk desa disana terkesima saat melihat kapal yang luar biasa itu. Lalu, ada salah satu penduduk desa mengenali Kulup.
“Bukankah itu si Kulup? Anak dari pasangan tua yang hidup mengharapkan kepulangannya?” tanya penduduk itu pada temannya.
“Wah, benar sekali. Sekarang dia sudah menjadi saudagar kaya. Kita harus segera memberitahukan kabar baik kepada ayah dan ibunya,” ucap kedua penduduk desa itu.
Mereka segera bergegas menuju ke tempat ayah dan ibu si Kulup. Betapa leganya kedua orang tuanya mengetahui bahwa putra mereka masih hidup. “Oh, Anakku yang Masih hidup! Akhirnya kamu pulang juga, aku sangat merindukanmu” gumam sang ibu sambil menyeka air matanya.
Kedua orang tua Kulup bergegas menuju ke muara Sungai Cerucuk. Mereka juga membawakan makanan kesukaan sang anak.
Sesampainya di muara, sang ibu menangis dan bersujud syukur. “Syukurlah anakku Kulup masih hidup. Terima kasih, Tuhan,” ucapnya sambil menangis.
Sang ayah berteriak memanggil anaknya di bawah kapal, “Anakku, kulup, kemarilah, Nak, kemarilah, Nak, kami merindukanmu!”
Namun, sepertinya si kulup mengabaikan panggilan itu. Dia berpura-pura tidak menyadari bahwa ayahnya memanggilnya.
Kemudian, gantian sang ibu yang meneriakkan namanya berulang kali. “Kulup! Kulup! Nak, ini ibu dan ayahmu. Ibu menyambut kamu di sini. Aku senang karena akhirnya kamu pulang,” ucap sang ibu.
Kali ini, kulup tidak dapat menghindari mendengar suara ibunya yang lantang itu. Setelah itu, dia berhadapan dengan ibu dan ayahnya. “Apakah mereka benar-benar ayah dan ibumu?” tanya sang istri.
“Tapi mengapa penampilan mereka compang-camping seperti itu? Katamu, kau anak saudagar kaya, kan?” ucap sang istri lagi.
“Bukan! Aku tak punya orang tua seperti itu! Mereka hanya mengaku-ngaku saja,” jawab Kulup marah.
“Kulup, Anakku. Sayangku. Ibu membawa makanan kesukaanmu,” kata teriak sang ibu.
“Tampaknya ia benar ibumu. Kau tak perlu menipuku. Jujurlah. Jangan jadi anak durhaka,” ucap sang istri.
Mendengar apa yang dikatakan istrinya, Kulup menjadi semakin marah. “Akan ku buktikan kalau mereka bukan orang tuaku!” ucap Kulup.
Dia berjalan menuju ke bawah kapal sehingga dia bertemu dengan orang tuanya. Namun, bukannya dengan menyapa dan memeluk kedua orangtuanya, dia malah menegur mereka.
“Kamu telah tiba di rumah dengan selamat, anakku. Kami merindukanmu,” kata sang ibu sambil mendekat untuk memeluknya.
Kulup langsung menepis tangan sang ibu bahkan sebelum ia sempat memeluk anaknya. “Jangan coba-coba menyentuhku dengan tangan kotormu. Kamu bukan orang tuaku! Pergi dari sini!” teriak Kulup pada orang tuanya.
“Nak, kami orang tuamu! Ini ibumu dan aku ayahmu! Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu kepada orang yang membesarkanmu,” ucap sang ayah marah.
“Orang tuaku adalah saudagar kaya, bukan kalian!” kata Kulup sambil mendorong ibunya hingga terjatuh. Setelah itu, ia naik ke atas kapal dan memutuskan untuk meninggalkan muara Sungai Cerucuk.
“Ayo kita pergi dari sini. Aku sudah muak dengan penduduk desa ini!” Kulup berteriak kepada seluruh awak kapal. Sang istri hanya terdiam. Ia tidak bisa berkata apa-apa melihat sikap marah suaminya.
Ibu Kulup masih tersungkur di muara Sungai Cerucuk. Ayah dan ibu Kulup menangisi anak yang tidak mengakui mereka sebagai orang tua.
“Kenapa sikap ia sangat berubah? Apa yang salah dengan kita?” tanya sang istri.
“Jika memang dia tidak mengakui aku adalah ibunya, biarlah kapal itu tenggelam bersamanya!” teriak sang ibu penuh sakit hati.
Pada saat yang sama, badai yang dahsyat muncul entah dari mana dan mulai mengamuk. Ketika geombang laut setinggi gunung tiba-tiba menghantam kapal mewah Kulup. Pada akhirnya kapal tersebut hancur di tengah sungai Cerucuk dan tenggelam.
Semua orang di kapal tewas seketika, termasuk Kulup dan istrinya. Setelah beberapa hari kemudian, sebuah pulau yang menyerupai kapal terbalik muncul di lokasi di mana kapal besar Kulup tenggelam. Orang-orang menduga bahwa kapal Kulup telah terbalik dan pulau itu terbentuk dari reruntuhan kapal. Sejak saat itu, mereka menyebut pulau tersebut sebagai Pulau Kapal.
Pesan Moral dari Legenda Pulau Kapal
Pesan moral dari legenda pulau kapal adalah Janganlah menjadi anak yang durhaka. Jangan lupakan ketulusan hati orang tuamu karena merekalah yang telah membesarkanmu dengan sepenuh hati. Dan jangan pernah malu dengan keadaan orang tua mu. Apalagi di depan pasanganmu. Jangan sampai demi status pasanganmu, kamu berbohong kepada mereka tentang kondisi orang tuamu yang sebenarnya.