Pada zaman dahulu, di sebuah desa hiduplah seorang pemuda bernama La Moelu. Ibunya meninggal ketika La Moelu masih bayi. Kini, ia tinggal bersama ayahnya yang sudah lanjut usia dan tidak mampu lagi menghidupi mereka berdua. Jangankan untuk bekerja, untuk berjalan saja ia harus menggunakan tongkat.
La Moelu tidak punya pilihan lain dalam hidupnya, dia harus bekerja keras untuk mencari nafkah. Karena masih anak-anak, satu-satunya pekerjaan yang bisa ia lakukan adalah memancing ikan di sungai yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Suatu hari, La Moelu pergi memancing ke sungai dengan harapan dapat menangkap ikan yang banyak. Ketika ia sampai di tepi sungai, nampak sekawanan ikan yang berenang di permukaan air. Degan penuh semangat, ia segera memasang kail dan melemparkan umpan ke tengah sungai.
Sudah cukup lama ia duduk sambil menunggu, namun tak ada satu pun ikan yang mengambil umpan yang dia lemparkan.
“Hei, ke mana perginya kawanan ikan tadi? Padahal tadi aku melihat mereka bermuncul di permukaan air,” gumam La Moelu kesal.
Hari sudah hampir siang, La Moelu belum juga mendapatkan seekor ikan pun. “Ah, aku tidak boleh putus asa! Mungkin kawanan ikan itu belum menemukan umpanku,” pikirnya.
Beberapa saat kemudian, kailnya tiba-tiba bergetar. Dengan sepenuh hati, ia menarik umpan tersebut perlahan-lahan ke tepi sungai. Sayangnya, ia hanya mendapatkan satu ekor ikan, namun bentuknya aneh. Ia pun membawa pulang ikan aneh itu dan menunjukkannya kepada ayahnya.
“Ayah… Ayah… Aku mendapatkan seekor ikan aneh. Coba ayah lihat,” Kata La Moelu.
“Ikan jenis apa ini? Seumur hidup ayah tidak pernah melihat ikan seperti ini. Sebaiknya ikan itu tidak usah digoreng. Kamu pelihara saja di dalam gelas,” jelas ayahnya dengan takjub sambil melihat ikan aneh yang dibawa anaknya.
“Baik, yah” kata La Moelu sambil meletakkan ikan aneh tersebut ke dalam gelas.
Keanehan muncul keesokan harinya. La Moelu terkejut melihat ikan tangkapannya telah membesar hingga memenuhi gelas. Kemudian ia pindahkan ikan itu ke dalam sebuah guci.
Untuk sementara La Moelu menghela napas lega. Namun hari berikutnya ia dibuat kaget dan keheranan karena si ikan kini telah membesar seukuran guci tempat tinggalnya. Ikan itu kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih besar. Keesokan harinya, ikan itu terus tumbuh hingga tidak ada lagi tempat untuk menampungnya.
“Lepaskan saja dia ke laut. Di sana ia bisa tumbuh sebesar apapun dan laut pasti punya tempat untuknya,” perintah ayah kepada La Moelu. Anak itu menurut saja. Ia bawa ikan itu ke tepi pantai.
La Moelu langsung melepaskan ikan besar itu setelah sampai di tepi laut.
“Hai, ikan ajaib! Aku memberimu nama Jinnande Teremombonga. Jika kelak aku memanggilmu, datanglah ke tepi laut. Aku akan memberimu makan. Aku tidak bisa lagi memeliharamu di rumah, karena tubuhmu semakin lama semakin besar,” kata La Moelu.
Ikan itu pun mengibas-ngibaskan ekornya untuk menandakan bahwa ia mengerti. Sekarang Jinnande senang bisa bergerak bebas di lautan yang luas.
Sesuai janji, La Moelu datang ke tepi laut keesokan harinya. Dia kemudian berteriak memanggil nama ikannya, “Jinnande Teremombonga!”
Tak berapa lama, Jinnande Teremombonga datang menghampirinya. Ia terus berbicara dengannya sambil memberi makan ikan. “Tubuhmu makin membesar saja. Kamu terlihat lebih indah sekarang,” ujarnya. Jinnande Teremombonga memberi respon dengan cara mengibas-ngibaskan ekor.
Ternyata, ada tiga pemuda tidak sengaja melihat La Moelu memanggil dan memberikan makan kepada ikan besar di tepi pantai. Ketiga pemuda itu rupanya adalah tetangga La Moelu. Niat jahat pun muncul di benak mereka. “kawan-kawan, bagaimana kalau kita menangkap ikan besar itu? Kalau kita jual di pasar, pasti laku,” kata salah satu pemuda paling tua.
“Tunggu dulu, jangan terburu-buru! Mari kita tunggu dulu anak itu samai anak itu pulang. Setelah itu kita tangkap ikan besar itu,” ujar pemuda lain.
Setelah memberi makan, La Moelu sgera pergi karena ia harus segera ke pasar dan ke sungai untuk memancing ikan. Kemudian, ketiga pemuda itu mendekat ke tepi laut. Mereka lalu berteriak memanggil Jinnande Teremombonga.
“Jinnande Teremombonga! Datanglah kemari!” ucap pemuda lainnya.
Tidak lama kemudian, Jinnande Teremombonga datang ke tepi laut. Namun, ketika dia melihat bahwa orang yang memanggilnya bukanlah La Moelu, Jinnande Teremombonga langsung kembali pergi dari sana.
“Hah? Kenapa ikan itu pergi?” tanyanya.
“Mungkin, dia takut padamu! Coba aku saja yang memanggilnya,” ucap salah satu pemuda.
“Jinnande Teremombonga! Kemarilah!” teriaknya.
Ikan itu datang mendekat, tapi mendapati yang datang bukanlah La Moelu, ia kembali menjauh dari sana. Hal itu terjadi lagi ketika pemuda terakhir mencoba memanggilnya. Sampai akhirnya, mereka pun mulai mengatur strategi.
Setelah berdiskusi cukup lama, ketiga pemuda tersebut menemukan satu rencana, yaitu salah satu dari mereka akan meneriaki ikan tersebut, sementara, dua pemuda lainnya akan menusuk perut ikan tersebut dengan tombak. Ternyata rencana mereka berhasil. Meskipun ikan itu berusaha untuk melawan, pada akhirnya ikan itu tetap kalah dan mati.
Kemudian mereka memotong-motong daging ikan tersebut dan membaginya secara merata. Sebagian ikan mereka bawa ke pasar dan dijual. Sisanya mereka bawa pulang ke rumah masing-masing.
Keesokan harinya, La Moelu kembali ke tepi laut untuk memberi makan ikan kesayangannya itu. Sesampainya di tepi laut, ia pun langsung berteriak memanggilnya.
“Jinnande Teremombonga..!!!”
Sudah cukup lama La Moelu menunggu, namun ikan itu belum juga muncul. Dia berulang kali berteriak lebih keras, tetapi ikan itu tak kunjung juga muncul. La Moelu mulai khawatir tentang apa yang mungkin terjadi pada Jinnande Teremombonga.
“Apa yang terjadi dengan Jinnande Teremombonga? Sebelumnya, dia langsung datang setelah aku memanggilnya sekali. Tapi kali ini, setelah beberapa kali dipanggil, dia tidak muncul. Apakah ada orang yang telah menangkapnya?” gumam La Moelu.
Hingga hari menjelang siang, ikan itu tak kunjung datang. Pada akhirnya, La Moelu pulang ke rumahnya dengan perasaan kesal dan sedih. Dalam perjalanan pulang, ia selalu memikirkan nasib ikan kesayangangnya itu. Sesampainya di rumah, ia pun menceritakan hal itu kepada ayahnya. Namun, sang Ayah hanya bisa memberinya nasihat karena tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.
Saat malam tiba, La Moelu menghirup aroma sedap ikan goreng. Tiba-tiba La Moelu teringat tentang Jinnande Teremombonga. Ia segera beranjak dari tempat tidur dan mencari sumber aroma tersebut.
Ternyata aroma sedap itu berasal dari rumah tetangganya. Ia pun mengunjungi rumah itu untuk mengetahui ikan jenis apakah yang mereka goreng. Saat mendatangi rumah tetangganya, ia disambut oleh pemuda paling tua yang menangkap Jinnande Teremombonga.
“Oh, hai. Apa yang membuatmu datang kemari?” tanyanya.
“Aku mencium aroma sedap ikan goreng dari rumahku. Apakah kamu sedang menggorengnya?” tanya La Moelu.
“Wah, ternyata aromanya menyebar hingga ke rumahmu, ya. Iya, benar sekali. Saudaraku sedang menggoreng ikan. Kamu mau?” jelas pemuda itu.
“Maaf, tidak, terima kasih. Aku hanya penasaran dengan ikan jenis apa yang kalian goreng?” tanyanya penasaran.
“Hanya ikan biasa. Kenapa?” jawab pemuda itu cemas. Ia nampaknya takut ketahuan bahwa ikan yang digorengnya sebenarnya adalah Jinnande Teremombonga.
“Apakah ikan itu besar? Apakah kamu menemukannya di laut?” tanya La Moelu mendesak pemuda itu.
Pemuda itu akhinya mengaku setelah merasa terdesak. “Iya, kamu benar. Ikannya berukuran besar dan aku menangkapnya di lautan. Memangnya kenapa, anak yatim?” katanya dengan ejekan.
Betapa sakit hati La Moelu mendengar kata-kata itu. Pemuda itu kemudian memberinya tulang Jinnande Teremombonga.
“Ini aku berikan tulang ikannya. Karena sebagian dagingnya sudah aku jual dan sisanya kami makan. Anggap saja ini kenang-kenangan untukmu,” ucapnya.
Tentu saja La Moelu menerima tulang ikan itu. Sepanjang jalan, ia menangis tersedu-sedu. Ia tak menyangka bahwa teman yang ia rawat selama ini dimakan oleh tetangganya sendiri. Meski mendapat perlakuan seperti itu, La Moelu tidak merasa dendam kepada pemuda itu.
Ayahnya kemudian meminta La Moelu untuk menguburkan tulang Jinnande Teremombonga di belakang rumah mereka. Ia pun menuruti perkataan ayahnya. Kemudian air matanya pun jatuh tepat di makan Jinnande Teremombonga.
Keesokan harinya, La Moelu terkejut melihat adanya tanaman tumbuh di makam Jinnande Teremombonga. ada sesuatu terjadi pada makam Jinnande Teremombonga. Anehnya lagi, tanaman itu memiliki batang bewarna keemasan, daun bewarna perak, bunga dan buahnya berbentuk berlian. Ia pun segera memberitahukan peristiwa aneh itu kepada ayahnya.
“Ayah! Coba lihat tanaman ajaib di belakang rumah kita!” ajak La Moelu.
Ayah La Moelu pun segera keluar dari rumah sambil berjalan membawa tongkat. Alangkah terkejutnya ketika si ayah melihat tanaman ajaib itu.
Ayah La Moelu pun menyadari bahwa itu semua adalah berkat dari Tuhan Yang Maha kuasa yang diberikan kepada mereka. Mereka akhirnya membiarkan tanaman itu tumbuh subur. Para penduduk yang mengetahui keberadaan tanaman ajaib itu mulai berbondong-bondong menyaksikan tanaman ajaib tersebut.
Tanaman ajaib itu terus tumbuh semakin besar. La Moelu secara perlahan mulai menjual ranting, daun, bunga dan buahnya. Dia kemudian menbaung uang hasil penjualannya. Seiring berjalannya waktu, La Moelu menjadi orang kaya yang dermawan di desanya. Ia selalu membantu penduduk desa yang miskin. Tak heran, jika semua orang di desa tersebut sangat menghormati dan menyayangi La Moelu. Kini, La Moelu bisa hidup makmur dan bahagia bersama ayahnya.
Pesan Moral dari Cerita La Moelu
Pesan moral dari cerita La Moelu adalah jadilah pekerja keras seperti tokoh utama kita yaitu La Moelu. Meskipun hidupnya sulit, dia tidak pernah mengeluh. Ia juga berbakti dan patuh kepada orang tuanya. La Moelu selalu meminta izin dan pendapat dari ayahnya, serta menuruti nasihatnya. Ia tak pernah sekali pun membantah ayahnya. Meski La Moelu sudah menjadi orang kaya, ia tidak pernah sakit hati dan dendam kepada pemuda yang telah menangkap ikan kesayangangnya. Dan dia selalu senantiasa membantu orang-orang miskin yang membutuhkan.