Dahulu kala, hiduplah seorang lelaki tampan bernama Awang Sukma tinggal di sebuah desa. Ia tidak memiliki istri dan hidup sendirian. Awang Sukma menjadi seorang penguasa di desa itu. Oleh karena itu, ia diberi gelar datu. Dia tidak hanya tampan, tapi juga seorang pemain seruling yang hebat. Siapa pun yang mendengarkan alunan musiknya akan tersentuh.

Pada suatu malam, Awang Sukma ingin menghibur diri dengan memainkan sulingnya. Setelah bermain cukup lama, angin dari seruling membelai rambutnya membuatnya tertidur. Akhirnya, suara seruling menghilang dan serulingnya tergeletak di sampingnya. Ia pun tertidur.

Di suatu pagi buta, Awang Sukma tiba-tiba ingin menghirup udara segar di Telaga. Awang Sukma segera pergi ke Telaga. Sesampainya di Telaga, ia terkejut melihat ada 7 bidadari cantik sedang mandi di telaga tersebut.

“Mereka sangat cantik. Siapakah mereka? Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat tersembunyi untuk mengintip. Ketujuh bidadari itu sama sekali tidak menyadari bahwa Awang Sukma sedang mengintip mereka.

Dari tempat persembunyian itu, pakaian dan selendang para bidadari cantik itu terlihat tergeletak di tepi telaga. Awang Sukma mencoba mengambil dan menyembunyikan selendang kuning ke dalam bumbung(tabung buluh yang biasa digunakan untuk memasak lemang) dan bumbung itu disembunyikan ke dalam kindai(tempat menyimpan beras).

Saat matahari terbit di atas mereka, para bidadari itu pun mengakhiri permandiannya. Salah satu dari ketujuh bidadari cantik itu tidak dapat menemukan pakaiannya. Ternyata bidadari yang kehilangan selendangnya adalah seorang bidadari bungsu kahyangan yang kebetulan paling cantik. Karena tidak dapat menemukan pakaiannya, bidadari bungsu itu tidak dapat kembali ke kahyangan.

“Di mana selendangku? Tanpa selendang aku tidak bisa kembali” tangis bidadari bungsu.

Para bidadari lainnya pun berusaha membantu. Namun karena matahari sudah mulai terbit, enam Bidadari lainnya segera pergi meminta maaf kepada bidadari bungsu sebelum pintu kayangan ditutup.

“Matahari akan terbit. Kami tidak bisa berlama-lama di sini. Maafkan kami! Kami harus kembali ke kahyangan,” tutur salah satu bidadari.

Bidadari bungsu itu pun menangis. Lalu Awang Sukma segera keluar dari persembunyiannya.

“Jangan takut putri, aku akan membantumu selama kamu tinggal bersamaku,” bujuk Awang Sukma. Bidadari yang tak berdaya itu pun menerima lamaran Awang Sukma. Lagipula Awang Sukma memiliki wajah yang tampan.

Keduanya pun menikah dan hidup bersama. Setahun kemudian lahirlah seorang bayi perempuan yang cantik dan diberi nama Kumalasari. Kehidupan keluarga Awang Sukma semakin bahagia.

Pada suatu hari ketika persediaan beras di rumah habis, istri Awang Sukma itu pergi ke gudang yang selama ini tertutup rapat untuk mengambil beras karena Awang Sukma lupa letak beras tersebut.

Namun, ada seekor ayam hitam sedang mengais-ngais kain ketika bidadari itu tiba di gudang. Betepa terkejutnya ia melihat selendangnya ada di sana.

“Ini selendangku! Ternyata, suamiku yang menyembunyikan selendangku sehingga aku tidak bisa kembali bersama kakak-kakakku,” katanya sambil memegang erat selendang itu.

Emosi yang dirasakan bidadari itu begitu kuat sehingga ia merasa cemas, gelisah, terganggu, dikhianati, marah, dan sedih. Ia mencampurkan cintanya kepada suaminya dengan perasaan-perasaan itu.

“Sudah saatnya aku untuk kembali ke kahyangan,” gumam Bidadari Cantik.

Di tepi telaga, bidadari bungsu itu mengenakan pakaian itu. Kemudian ia menggendong putrinya yang belum genap berusia satu tahun. Ia menangis sambil mencium putrinya sepuas-puasnya. Kumalasari pun ikut menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang Sukma terbangun dari tidur. Awang Sukma pun pergi menuju ke arah sumber suara itu.

Sesampainya di sana, bidadari itu berkata, “Kanda, tolong jaga putri kita si Kumalasari. Jika ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri dan masukkan ke dalam keranjang. Kemudian goyangkan kerangjang itu. Dan mainkan musik serulingmu dan bernyanyilah. Adinda akan segera datang.”

Putri bungsu pun terbang dan menghilang di kahyangan meninggalkan suami dan putri tercintanya. Pesan istrinya itu pun dilaksanakan setiap Kumalasari rindu pada ibunya. Bagaimana pun kerinduan Awang Sukma kepada istrinya harus dipendam karena mereka tidak dapat bersatu seperti sebelumnya.

Telaga yang dimaksud cerita ini kemudian diberi nama Telaga Bidadari, yang terletak di desa Pematang Gadung, Kalimantan Selatan.

Pesan Moral dari Cerita Telaga Bidadari

Pesan moral dari cerita telaga bidadari adalah jika kita menginginkan sesuatu, kita harus melakukan upaya yang sah dan beritikad baik untuk mendapatkannya. Kita tidak boleh mengambil atau mencuri barang karena pada akhirnya akan kecewa.

Tinggalkan Komentar