Dahulu kala, Ada sebuah bukit terletak jauh dari desa-desa yang banyak penduduknya tinggal di dalamnya. Di bukit itu, ada seorang wanita janda yang menjalani kehidupan yang sulit. Dia ditemani anak perempuannya yang bernama Darmi.
Kehidupan Darmi sangat sulit sejak ditinggal pergi oleh sang ayah tanpa meninggalkan warisan sedikitpun. Namun, sang ibu tersebut mampu merawat Darmi dengan sangat baik. Ia bekerja di sawah dan juga di ladang orang lain, menjadi buruh untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Putrinya tumbuh menjadi seorang gadis muda yang cantik saat dia dewasa. Gadis itu memiliki tubuh yang indah dan juga langsing. Rambutnya lembut, lebat, dan tergerai hingga ke pergelangan kaki. Rambutnya semakin dipercantik dengan poni yang disisir sempurna di dahinya dan memiliki kehalusan seperti batu cendana.
Sayangnya, dibalik wajah yang catik dan penampilannya yang menawan, sifat dan hati gadis itu sangatlah berbeda. Dia memiliki sifat pemalas dan juga manja serta egois, semua yang diinginkan harus diwujudkan.
Tidak pernah sekalipun dia menunjukkan kepedulian terhadap kesehatan ibunya. Meskipun demikian, ibunya tidak pernah berhenti berusaha untuk mengabulkan semua permintaan anaknya. Padahal setiap hari ibunya berjuang keras untuk mencari sesuap nasi.
Sedangkan, gadis itu tidak pernah membantu atau bahkan mencoba membuat hidup ibunya lebih mudah. Dia terus bersolek setiap harinya untuk menjaga penampilannya tetap cantik.
Darmi selalu menolak ajakan ibunya untuk membantunya bekerja di sawah ataupun di ladang.
“Nak, bisakah kamu membantu ibu di ladang?” Ibu butuh bantuanmu,” ajak sang ibu.
“Tidak mungkin aku akan bekerja di ladang, seperti yang ibu tahu ladang itu sangat kotor dan juga sangat menjijikkan. Kuku aku yang indah ini tidak akan cantik lagi karena lumpur,” jawab Darmi setiap kali ibunya meminta bantuannya.
“Apakah kamu tidak ingin membantu ibu? Apakah kamu tidak kasihan dengan ibu?” tanya ibunya lagi.
“Aku tidak mau bekerja di tempat yang kotor. Ibu sudah keriput dan tidak menarik, tidak ada yang bisa diubah dari penampilan ibu, dan tidak ada lagi yang menginginkan ibu lagi, jadi tidak ada alasan bagi ibu untuk mengeluh tentang kerja keras di ladang. Pekerjaan ladang itu hanya cocok untuk ibu.” Darmi berteriak.
Meskipun anaknya tidak pernah membantunya di ladang, sang ibu tetap bekerja di sana setiap hari. Darmi akan mendatanginya begitu ibunya selesai bekerja untuk meminta uang hasil kerja ibunya agar dia bisa membeli apa yang diinginkannya. Hal ini terjadi hampir setiap kali selesai bekerja.
“Pekerjaan sudah selesai? mana uang dari hasil kerjanya?” tanya Darmi.
“Ibu sudah diberi uang, tapi uang ini mau ibu gunakan untuk kebutuhan kita sehari-hari,” jelas sang ibu.
“Bedak yang kupunya sudah habis, jadi aku harus membeli yang baru agar aku tetap terlihat cantik,” kata Darmi.
Meski kesal karena anaknya hanya bisa menuntut, sang ibu tetap memberikan uang hasil jerih payahnya kepada anaknya karena ingin membahagiakan anaknya.
Suatu hari, sang ibu membawa anak perempuan satu-satunya ke sebuah desa yang terletak di bawah bukit. Di desa itu, terdapat beberapa pemukiman yang ramai dengan warga yang berbelanja berbagai kebutuhan.
Perjalanan ke desa tersebut sangatlah jauh dari tempat tinggal mereka. Mereka harus berjalan kaki sangat jauh karena tidak ada kendaraan menuju ke bawah bukit.
Seperti kebiasaannya, gadis yang egois itu berjalan dengan mengenakan pakaian yang mewah dan indah. Dia sengaja mengenakan pakaian mahal dan memakai kosmetik yang menarik dengan harapan dapat menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Gadis muda itu sangat ingin menjadi fokus perhatian semua orang dan ingin dikagumi oleh semua orang.
Pakaian sang ibu sangat jauh berbeda dengan pakaian putrinya. Dia berpakaian kotor dan tidak terawat saat membawa keranjang belanjaannya. Tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa mereka sebenarnya adalah seorang ibu dan anak.
Sesampainya di desa, mata semua orang langsung tertuju pada gadis itu. Kecantikan gadis itu juga memikat perhatian para pemuda di sana. Seakan tidak pernah puas, para pemuda itu tidak mau mengalihkan perhatiannya sedikit pun kepada gadis itu.
Namun, semua orang bertanya-tanya siapa wanita tua berpakaian kotor dan tidak terawat yang terus mengikuti gadis cantik tersebut.
Di tengah keramaian, ada seorang pemuda datang menghampiri dan memberanikan diri untuk menyapa gadis cantik itu.
“Hai, gadis cantik. Siapakah wanita tua yang berjalan di belakangmu dan terus mengikutimu sepanjang jalan? Mungkinkah dia ibumu?” Tanya pemuda itu penasaran.
Gadis muda itu merespon dengan ekspresi marah, meluruskan posturnya dengan sikap angkuh dan menjawab, “Tidak! Tak perlu kau tanya, wanita ini adalah pembantuku.”
Perasaan sang ibu seperti tersambar petir yang begitu menyakitkan dan memuakkan. Meskipun demikian, sang ibu terus manahannya dari berbagai luka yang diberikan anaknya itu.
Darmi dan ibunya terus melanjutkan perjalanan. Dengan posisi yang sama seperti sebelumnya, Darmi berjalan di depan ibunya. Tidak lama kemudian Darmi disapa oleh seorang pemuda lain sambil menggoda gadis itu.
“Hai, gadis manis. Siapa gerangan wanita tua yang berjalan dibelakangmu itu? apakah dia Ibumu?” tanya pemuda itu.
“Apakah kami terlihat seperti ibu dan anak? Tentu saja bukan. Apakah wanita tua ini pantas jadi ibuku?” teriak Darmi.
“Dia adalah pembantuku,” lanjutnya.
Hati sang ibu kembali merasa terluka, Tapi ia tetap berusaha keras untuk menahan emosinya. Setiap perjalanan di desa, itulah yang dilakukan oleh anaknya. Darmi malu mengakui keberadaan ibunya dan selalu menyebut ibunya sebagai pembantu.
Hinaan itu terus berulang dan membuat hati sang ibu terus merasa terluka. Akhirnya sang ibu berhenti di pinggir jalan, dan ketika dia berada di sana, dia berdoa sambil berlutut dan menangis karena dia tidak percaya betapa kejamnya putrinya.
“Kenapa ibu berhenti?” tanya Darmi.
Darmi terus bertanya berulang kali, namun sang ibu tidak menjawab pertanyaannya.
Sang ibu mulai berdoa, “Ya, Tuhan! Hamba memohon ampun karena diriku begitu lemah dan tidak mampu menahan diri. Penderitaan semacam ini berada di luar kemampuan hamba untuk menanggungnya lebih lama lagi. Hamba tak mampu menghadapi sikap putri hamba yang durhaka ini! Ya Tuhan! Tolong berikanlah hukuman yang semestinya kepada putri hamba! Hamba memohon kepadamu, Ya Tuhan!”
Atas kehendak dari tuhan Yang Maha Esa. Langit tiba-tiba gelap dan mendung. Ada kilatan petir setiap bagian langit, seolah langit sedang marah.
Datanglah hujan deras dan angin kencang melanda desa. Tubuh Darmi tiba-tiba menjadi kaku dan dia tidak bisa bergerak sama sekali. Saat Darmi merasakannya, dia langsung panik dan mulai berteriak.
“Ibu, ada apa dengan tubuhku? kenapa kakiku tidak bisa bergerak?” tanyanya sambil berteriak ketakutan.
Sang Ibu tak ingin menjawab pertanyaan itu dan melihat bagaimana tubuh putrinya perlahan mengeras.
“Maaf aku, Bu. Maafkan Darmi, Darmi berjanji tidak akan melakukan kesalahan itu lagi. Maafkan aku, Bu. Maafkan aku!” teriak Darmi.
Namun, semua permintaan maaf Darmi sudah terlambat. Itulah hukuman atas kedurhakaan Darmi yang tidak bisa diberi ampun. Tubuh Darmi perlahan-lahan menjadi batu. Tubuh Darmi dari ujung kaki hingga atas kepala semakin mengeras.
Sebelum anaknya berubah menjadi batu, sang ibu melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa putrinya menangis sambil memohon ampun kepadanya. Beberapa orang di sekitarnya juga menyaksikan kejadian itu.
Setelah Darmi berubah menjadi batu, langit kembali cerah dan terang seperti biasanya. Kemudian Darmi dipindahkan ke pinggir jalan dan disandarkan ke tebing. Karena warga desa mengetahui kejadian tersebut maka batu tersebut menjadi legenda dan dijuluki batu menangis.
Pesan Moral dari cerita Rakyat Batu Menangis
Pesan moral dari cerita rakyat batu menangis adalah selalu menunjukkan rasa hotmat dan kasih sayang kepada orang tua, karena kemakmuran dan kebahagiaan seseorang sangat tergantung dari doa yang dipanjatkan oleh kedua orang tuamu.