Pada zaman dahulu, ada kerajaan besar yang dikenal bernama Seri Bunga Tanjung yang terletak di sekitar Dumai. Pada masa kejayaannya, ada ratu bernama Cik Sima yang memerintah kerajaan itu. Ratu ini memiliki tujuh putri cantik yang disebut sebagai Putri Tujuh. Putri bungsu yang bernama Mayang Sari adalah putri yang paling cantik dari Tujuh Putri. Kecantikan tubuhnya benar-benar mempesona. Oleh karena itu, sang putri juga dikenal dengan nama Mayang Mengurai.

Suatu hari, ketujuh putri sedang menikmati mandi bersama di Lubang Sarang Umai. Ketujuh putri itu begitu sibuk dengan mandi dan bermain-main sehingga mereka tidak menyadari bahwa ada banyak seseorang yang mengawasi mereka. Ternyata orang itu adalah Pangeran Empang Kuala dari kerajaan lain, yang kebetulan pangeran dan pengawalnya sedang melewati daerah itu. Sang Pangeran bersembunyi di semak-semak dan menyaksikan tujuh putri dari sana. Pangeran terpikat oleh kecantikan salah satu putri, yang tidak lain adalah Putri Mayang Sari.

“Kamu wanita muda yang cantik! Wanita muda yang paling mempesona dari Lubuk umai. Dumai… Dumai,” gumam Pangeran Empang dengan suara rendah.

Rupanya, sang pangeran menjadi jatuh cinta pada wanita itu. Ia berniat untuk melamarnya. Setelah itu, Pangeran buru-buru kembali ke kerajaan.

Setelah kembali ke kerajaan, Pangeran Empang Kuala memberikan instruksi kepada utusannya untuk melakukan perjalanan ke kerajaan Seri Bunga Tanjung untuk melamar Putri Mayang Sari.

Secara adat kerajaan Seri Bunga mengatakan bahwa putri tertua harus menjadi orang yang pertama menerima lamaran terlebih dahulu. Lalu, Cik Sima dengan sopan menolak lamaran pernikahan yang diberikan kepada putri bungsunya.

Setelah mengetahui bahwa lamarannya telah ditolak. Utusan pangeran langsung kembali ke tempat Panggeran berada.

“Ampun, Yang Mulia! Hamba tidak bermaksud untuk mengewakan Tuan. Saat ini lamaran Tuan untuk menikahi Putri Mayang Mengurai tidak diterima dari persetujuan dari keluarga kerajaan Seri Bunga Tanjung” seperti yang dikatakan utusan itu.

Ketika pangeran mendengar laporan itu, dia menjadi marah mengetahui bahwa lamarannya telah ditolak. Setelah itu, Pangeran Empang Kuala tidak lagi peduli dengan adat itu. Kemarahan yang telah menguasai hatinya tidak lagi bisa ditahan. Pangeran mengeluarkan perintah mendesak kepada komandan dan tentaranya untuk melancarkan serangan ke kerajaan Seri Bunga Tanjung. Akibatnya, konflik antara kedua kerajaan di tepi Selat Malaka tidak dapat dihindari.

Begitu Cik Sima mengetahui serangan itu, dia buru-buru membawa tujuh putrinya ke hutan terdekat dan mengamankan mereka di sana. Mereka disembunyikan di dalam lubang yang memiliki langit-langit yang terbuat dari tanah dan dikelilingi oleh pepohonan di semua sisinya. Selain itu, Cik Sima menyediakan makanan selama tiga bulan ke depan untuk tujuh putrinya. Setelah itu, Cik Sima kembali ke zona pertempuran.

Perang ini berlangsung selama beberapa bulan. Bahkan setelah tiga bulan, pertarungan belum dimenangkan, dan pasukan Cik Sima berada di bawah tekanan yang semakin besar. Kerajaan itu menjadi reruntuhan dan ada banyak korban. Pada akhirnya, Cik Sima pergi ke kuil bukit Hulu Sungai Umai untuk mencari bantuan jin yang sedang bermeditasi di sana.

Pada malam hari, saat Pangeran Empang Kuala dan tentaranya sedang beristirahat di hilir Sungai Umai, tiba-tiba ratusan buah bakau jatuh menimpa pasukan Pangeran yang sedang beristirahat di sana. Para tentaranya dilumpuhkan dalam sekejap. Pangeran Empang Kuala pun ikut terluka.

Utusan yang dikirim Ratu Cik Sima tiba saat Pangeran dalam keadaan lemah.

Pangeran yang masih duduk dan kelelahan karena rasa sakit, melihat utusan itu tiba di hadapannya langsung bertanya “Hai, utusan Seri Bunga Tanjung, apa alasan kedatanganmu?”

Utusan itu menjawab, “Saya di sini untuk memberikan pesan dari Ratu Cik Sima agar pangeran menghentikan perang ini. Tindakan perang ini telah merusakkan bumi sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa pun yang datang ke tanah Seri Bunga Tanjung dengan niat jahat akan membawa kemalangan pada diri mereka sendiri, sementara di sisi lain, siapa pun yang masuk dengan niat baik akan membawa kemakmuran dalam hidup mereka,” kata utusan Ratu Cik Sima.

Setelah mendengarkan penjelasan yang diberikan oleh utusan Ratu Cik Sima, Pangeran Empang Kuala sadar bahwa dialah yang memulai perang ini. Pangeran dengan cepat memberi perintah kepada tentaranya untuk kembali pulang ke kerajaan Empang Kuala.

Keesokan harinya, Ratu Cik Sima langsung menuju lokasi di hutan tempat ketujuh putrinya berlindung. Sungguh mengejutkan bagi Ratu Cik Sima, karena melihat ketujuh putrinya sudah meninggal dunia. Mereka menderita dehidrasi dan kelaparan, dan akhirnya meninggal. Tampaknya Ratu Cik Sima lupa bahwa bekal yang ia sediakan hanya cukup untuk tiga bulan, sedangkan pertarungan yang terjadi antara Ratu Cik Sima dan Pangeran Empang Kuala berlangsung selama empat bulan. Pada akhirnya, Ratu Cik Sima jatuh sakit karena tidak mampu menahan kesedihan dan tak lama kemudian meninggal dunia.

Sejak peristiwa itu, masyarakat Dumai meyakini bahwa nama kota Dumai diambil dari kata “dumai” yang selalu diucapkan Pangeran Empang Kuala ketika melihat kecantikan Putri Mayang Sari atau Mayang Mengurai.

Pesan Moral dari cerita Putri Tujuh

Ketika kita diliputi amarah dan tidak dapat berpikir jernih, sebisa mungkin hindari membuat keputusan yang terburu-buru. Kita akan selalu menyesali dengan keputusan yang kita pilih saat sedang emosi.

Tinggalkan Komentar