Dahulu kala, ada seorang pemuda bernama Jaka Tarub dan tinggal bersama ibunya bernama Mbok Milah. Ayah Jaka Tarub sudah lama meninggal dunia. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Jaka Tarub dan Mbok Milah bertani di ladang.

Pada suatu malam, Jaka Tarub bermimpi bertemu dan menikah dengan seorang perempuan yang sangat cantik seperti seorang bidadari. Saat Jaka Tarub terbangun dari tidurnya, wajahnya berseri-seri karena sangat senang dengan mimpinya semalam hingga keesokan harinya, ia terus memikirkannya. Jaka Tarub terlihat sedang merenung dan tersenyum sambil duduk di halaman belakang rumahnya.

Mbok Milah yang melihatnya bingung dengan apa yang dipikirkan putranya.

“Apa yang sedang kamu pikirkan, nak?” Tanya Mbok Milah penasaran.

Namun, Jaka Tarub masih termenung dan tidak menjawab pertanyaan ibunya.

“Mungkin Jaka Tarub sedang memikirkan perempuan dan menginginkan seorang istri” pikir Mbok Milah. Kemudian Mbok Milah akan mencarikan istri untuk Jaka Tarub dari desa.

Di hari yang sama, Mbok Milah sedang bertani di ladang. Pemilik sawah bernama Pak Ranu datang menghampirinya untuk bertanya, “Mbok Millah, apakah Jaka Tarub sudah menikah atau apakah sudah ada rencana untuk menikah?”

Mbok Milah pun berkata “Belum ada, pak. Memangnya bapak bertanya tentang itu? tanyanya bingung.

“Saya berniat menjodohkan Jaka Tarub dengan anak perempuan saya yang bernama Laraswati” jawab Pak Ranu.

Mbok Milah terkejut sekaligus senang karena anak perempuan pak Ranu adalah anak yang baik hati dan lemah lembut, namun sebelum menerima tawaran Pak Ranu, Mbok Milah berkata “Apa sebaiknya saya bertanya dulu kepada Jaka Tarub?” tanya Mboh Milah. Pak Ranu pun mengerti alasan Mbok Milah.

Saat Mbok Milah kembali ke rumahnya, dia berencana bertanya langsung kepada anaknya. Namun, ia membatalkan rencananya karena khawatir putranya yang sedang memikirkan perempuan lain akan tersinggung. Setelah itu, beberapa hari berlalu, Mbok Milah lupa akan rencananya.

Jaka Tarub juga suka berburu seperti yang dilakukan ayahnya dahulu. Keesokan paginya, ia memutuskan untuk pergi berburu bukan ke ladang. Jaka Tarub pun mempersiapkan peralatan berburu yang diperlukan termasuk busur, anak panah, pisau dan pedang. Ketika dia siap, dia pamit izin pergi berburu kepada ibunya.

“Bu, aku izin pergi berburu ke hutan ya” kata Jaka Tarub.

“Iya. Hati-hati ya, Nak,” kata ibunya.

Mbok Milah kembali ke kamarnya setelah Jaka Tarub pergi karena merasa sangat lelah.

Di hutan, Jaka Tarub berhasil memanah seekor rusa dan ia segera membawa pulang rusa tesebut. Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba seekor macan tutul menghampirinya. Karena terdesak, ia terpaksa meninggalkan rusa tersebut untuk bisa menjauh dari macan tutul. Macan tutul itu pun tidak mengejarnya lagi dan memakan rusa buruan Jaka Tarub.

Saat dalam perjalanan pulang Jaka Tarub merasa kesal dan merasa harinya sangat sial karena tidak membawa apa-apa.

“Pertanda apa ini, ya?” gumam Jaka Tarub cemas.

Saat Jaka Tarub sudah masuk ke desanya, ia melihat banyak orang desa berjalan dengan tergesa-gesa ke arah yang sama dengannya. ketika ia semakin dekat dengan rumahnya, semakin banyak orang berkumpul di sekitarnya. Pikiran Jaka Tarub semakin kacau, ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ketika ia memasuki rumahnya, Pak Ranu dan banyak orang menepuk-nepuk pundaknya untuk memintanya bersabar dan menerima penderitaanya.

Ternyata, ibu Jaka Tarub telah meninggal dunia. Mbok Milah ditemukan pingsan dan terbaring kaku di ruang tamu. Jaka Tarub terduduk lemas dan suara tangisannya begema di seluruh ruangan. Jaka Tarub hanya bisa menatap tubuh ibunya dengan raut wajah sedih. Pak Ranu mengatakan kepada Jaka Tarub bahwa istrinya adalah orang pertama kali menemukan ibunya dalam keadaan pingsan. Namun, Jaka Tarub sedang yang sedang dalam kondisi depresi tidak menghiraukan perkataan Pak Ranu.

Ia merasa kesepian karena kini ia hidup sendiri setelah ibunya dimakamkan dan semua orang desa pergi. Ia juga merasa kecewa karena tidak dapat memenuhi keinginan ibunya untuk melihat anaknya menikah dan memiliki cucu.

Pada hari-hari berikutnya, Jaka Tarub menghabiskan waktunya untuk berburu dan membagikan hasil buruannya kepada orang desa. Hanya dengan berburu, ia bisa menghilangkan rasa kesedihannya. Hingga pada suatu pagi, ia berburu di Hutan Wanawasa, namun ia tidak mendapatkan binatang apapun, sehingga ia merasa bosan. Hal ini terus berlanjut hingga keesokan paginya. Karena merasa kering dan haus, ia berjalan menuju telaga yang dikenal sebagai Telaga Toyawening.

Sesampainya di Telaga Toyawening, ia mendengar suara banyak perempuan yang berbicara satu sama lain sambil tertawa kecil. Ia pun berpikir ini semua hanyalah imajinasinya saja.

“Mana ada perempuan berani bermain di Telaga seperti ini,” pikirnya.

Semakin dekat Jaka Tarub mendekati telaga, semakin jelas dan keras suaranya. Ternyata ada tujuh wanita muda cantik sedang mandi di Telaga itu. Jaka Tarub terkejut dan jantungnya berdegup kencang. Jaka Tarub berjalan mengelilingi telaga dan mengamati semua wanita cantik itu. Dari percakapan ketujuh gadis itu, Jaka Tarub tahu kalau mereka adalah bidadari yang turun dari kahyangan.

“Apakah ini arti dari mimpiku waktu itu?” pikirnya dengan hati yang sangat bahagia.

Terlihat tumpukan pakaian dan selendang bidadari di atas sebuah batu besar. Ada berbagai macam warna di sana. Jaka Tarub mulai berpikir bahwa jika ia mengambil salah satu pakaian tersebut, bidadari itu tidak bisa kembali ke kahyangan. Akhirnya, diam-diam ia mengambil salah satu pakaian bewarna merah tua.

Saat matahari mau terbenam, para bidadari ingin kembali ke kahyangan. Namun, Salah satu bidadari tidak dapat menemukan pakaiannya. Keenam bidadari yang lain ikut membantu mencari pakaiannya yang hilang namun tidak juga berhasil menemukannya.

Dari kejadian tersebut, Jaka tarub mengetahui nama bidadari yang kehilangan pakaiannya bernama Nawangwulan. Nawangwulan menangis ketakutan karena tidak bisa kembali ke kahyangan tanpa pakaian dan selendangnya. Karena hari sudah hampir gelap, para bidadari lainnya terpaksa meninggalkan Nawangwulan dan pergi ke kahyangan.

Nawangwulan tampak putus asa. Tiba-tiba, dia mengucapkan kata-kata, “Siapa pun yang bisa memberiku pakaian, akan ku jadikan saudaraku jika ia perempuan, tapi jika ia laki-laki, akan aku jadikan suamiku.”

Jaka Tarub bergegas pulang ke rumahnya untuk menyembunyikan pakaian Nawangwulan dan membawa pakaian almarhum ibunya agar bisa digunakan.

Begitu Jaka Tarub kembali ke Telaga, dia mendekati Nawangwulan dan menyerahkan beberapa pakaian kepadanya. Setelah Nawangwulan selesai berpakaian, dia menepati janjinya dan menikahi Jaka Tarub seperti yang dijanjikannya sebelumnya.

Mereka menikah dalam waktu yang cukup lama dan dikaruniai seorang anak bernama Nawangsih. Sejak Jaka Tarub menikah, ia telah menemukan kembali kebahagiaan dalam hidupnya. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Ia bingung mengapa jumlah padi di lumbung mereka tidak berkurang meski sudah dimasak setiap hari. Padahal setiap hari mereka mengumpulkan hasil panen secara rutin, hingga hanya tersisa sedikit ruang di lumbung mereka.

Keesokan paginya, Nawangwulan memutuskan untuk mencuci pakaian di sungai. Ia menitipkan anaknya kepada Jaka Tarub. Sebelum pergi, ia memperingatkan suaminya untuk tidak membuka penutup kukusan nasi yang sedang ia masak.

Karena terasa sudah lama, Jaka Tarub membuka kukusan nasi untuk mengecek apakah nasinya sudah matang, namun ia lupa akan pesan istrinya. Betapa terkejutnya Jaka Tarub mengetahui apa yang ada di dalam kukusan itu. Ternyata selama ini Nawangwulan hanya menggunakan setangkai padi untuk memasak nasi. Itu sebabnya padi di lumbung tidak pernah habis. Terjawab sudah pertanyaan yang ada di pikirannya.

Ketika Nawangwulan tiba di rumah, ia melihat suaminya membuka kukusan nasi karena telah melupakan pesannya.

“Hilang sudah kesaktianku untuk mengubah setangkai padi menjadi sebakul nasi,” ungkap Nawangwulan dengan kesal.

Sejak hari itu, Nawangwulan diharuskan menumbuk padi sebelum dia bisa memasak nasi dan suaminya telah menyediakan lesung untuknya. Kini persediaan padi mereka semakin menipis.

Keesokan paginya, Nawangwulan pergi ke lumbung yang terletak di halaman belakang rumah untuk mengambil padi. Ketika Nawangwulan menarik batang padi yang tersisa, ia menyadari bahwa telapak tangannya menggenggam sesuatu yang lembut. Karena penasaran, Nawangwulan terus menarik sesuatu tersebut. Saat ia melihat benda tersebut, ternyata itu adalah pakaian dan selendang merah tua miliknya.

Nawangwulan merasa sangat kecewa karena selama ini telah ditipu oleh Jaka Tarub. Kemudian ia bertemu dengan Jaka Tarub dan mengatakan akan kembali ke kahyangan. Namun, Nawangwulan tidak akan melupakan anaknya. Jika anaknya ingin bertemu ibunya, Jaka Tarub harus membakar batang padi di dekat Nawangsih dan Jaka Tarub tidak boleh ada di dekat Nawangsih.

Jaka Tarub tidak bisa berbuat apa-apa selain meratapi semua ini. Dia sadar bahwa kejadian itu adalah kesalahannya dan ia harus menanggung akibatnya.

Pesan Moral dari Cerita Jaka Tarub

Pesan moral dari cerita jaka tarub di atas adalah sebaik apapun kita berusaha menyembunyikan sesuatu, pada akhirnya akan ketahuan. Oleh karena itu, jangan pernah berbohong kepada orang lain untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Hal ini dapat menyebabkan hasil yang tidak diinginkan dan merugikan diri sendiri serta orang lain.

Tinggalkan Komentar