Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani bernama Toba. Ia adalah seorang petani yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang cerah, Toba itu memancing ikan di sungai.
“Mudah-mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar.” gumam Toba tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Toba itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar, lebih besar dari ukuran ikan yang biasanya ia dapatkan.
Setelah sampai rumah, Toba sangat terkejut karena ikan yang tadinya akan ia bersihkan dan potong berubah menjadi seorang perempuan yang sangat cantik. Perempuan ini pun bercerita pada Toba bahwa sebenarnya ia adalah seorang putri raja dan sekarang ia tengah dikutuk. Setelah ia menjelaskan kondisinya, sang putri berterima kasih pada Toba karena sudah menyelamatkannya. Sebagai rasa terima kasihnya, sang putri bersedia menjadi istri Toba dengan syarat orang-orang lain tidak boleh tahu asal-usul keberadaannya.
“Baiklah, Aku akan menutup rapat-rapat rahasiamu ini. Rahasia ini hanya kita ketahui berdua saja.” kata Toba.
Toba dan Putri pun menikah. Keduanya hidup rukun dan berbahagia meski dalam kesederhanaan. Kebahagian mereka serasa kian lengkap dengan kelahiran anak mereka. Seorang anak laki-laki. Samosir namanya.
Samosir tumbuh menjadi anak yang sangat aktif dan bisa dibilang sedikit nakal. Samosir tidak pernah mau membantu ayahnya bekerja di ladang. Bahkan, saat ibunya memintanya hanya sekadar untuk mengantarkan bekal sang ayah, ia sering menolak. Ia lebih memilih di rumah atau bermain. Ditambah lagi, Samosir memiliki nafsu makan yang sangat tinggi, sehingga Toba harus bekerja lebih giat dan lebih keras agar segala kebutuhan gizi Samosir dapat terpenuhi. Saking tinggi nafsu makan Samosir, terkadang jatah makan satu keluarga bisa habis hanya untuk mengenyangkan perutnya. Meski begitu, Toba dan istrinya tidak merasa keberatan dan tetap berusaha agar anaknya bisa selalu merasa senang dan kenyang.
Lalu pada suatu hari, Samosir bersedia mengantarkan bekal ayahnya ke ladang setelah ia dibujuk dan dipaksa oleh ibunya. Dengan berat hati dan melawan rasa malasnya sekuat tenaga, Samosir berjalan ke ladang sambil membawa bekal ayahnya. Namun, di tengah jalan ia merasa lapar dan haus. Samosir pun membuka bekal ayahnya dan memakannya sedikit. Awalnya, Samosir hanya memakan satu gigit, tapi ia masih merasa lapar dan belum puas. Samosir pun membuka bekal ayahnya kembali dan memakan beberapa suap, hingga pada akhirnya hanya tersisa sedikit makanan dan minuman di dalam bekal ayahnya.
Toba telah sangat merasa lapar karena bekerja keras sejak pagi langsung membuka bekal untuk memakannya. Terperanjat dia saat melihat makanan untuk nya tinggal sedikit. “Mengapa jatah makanan dan minumanku tinggal sedikit?” tanyanya dengat raut wajah kesal.
Dengan wajah polos seolah tidak melakukan kesalahan, Samosir menjawab. “Tadi di jalan aku sangat lapar, Ayah. Oleh karenanya, jatah makanan dan minuman ayah itu telah kumakan sebagian. Tapi, tidak semua kuhabiskan, bukan? masih tersedia sedikit makanan dan minuman untuk Ayah.”
“Anak tidak tahu diuntung!” maki toba kepada anaknya. Kemarahan seketika meninggi. Serasa tidak bisa lagi dia menahan dan bersabar, umpatannya pun seketika itu meluncur. “Dasar anak keturunan ikan engkau ini.”
Samosir sangat terkejut mendengat umpatan ayahnya. Dia langsung berlari ke rumah. Pada saat bertemu ibunya, Samosir langsung menceritakan umpatan dan cacian ayahnya yang menyebutkan dirinya adalah keturunan ikan.
Mendengar pengaduan anaknya, ibu Samosir menjadi sangat bersedih. Tidak disangka jika suaminya melanggar sumpah untuk tidak menyebutkannya berasal dari ikan.
Kemudian, sang ibu berdiri sambil memegang tangan Samosir. Dalam hitungan detik, mereka sudah menghilang. Tiba-tiba, ada sebuah keajaiban muncul dari bekas pijakan Samosir dan ibunya. Ada sebuah aliran air yang sangat deras hingga tidak bisa dibendung dari bekas pijakan kaki mereka berdua. Saking derasnya aliran air yang mengalir, desa itu pun lama-lama menjadi tenggelam. Pada akhirnya, terbentuklah sebuah danau akibat hal ini. Danau ini dinamakan Danau Toba, pulau-pulau kecil di tengahnya pun disebut Pulau Samosir untuk mengenang anak laki-laki ini.
Pesan moral dari cerita Danau Toba
Pesan moral dari cerita Danau Toba ini adalah kita tidak boleh menjadi orang yang tamak. Kita harus mengambil suatu hal sesuai kebutuhan kita dan jangan sampai mengambil hak orang lain. Karena, tentunya orang lain memiliki hak untuk marah atau sedikit emosi jika barang miliknya diambil. Yang kedua adalah dari sudut pandang Samosir, kita harus selalu patuh dan menuruti orang tua kita selama hal itu adalah hal yang baik. Jangan menolak atau apalagi melawan mereka. Yang terakhir, kita bisa mengambil pelajaran dari sudut pandang Toba. Meski dalam kondisi marah, kesal, atau kecewa, kita harus selalu menepati janji yang sudah kita buat. Latih diri agar tidak mudah terbawa emosi dan menyakiti orang lain dengan kata-kata kita.