Dahulu kala, hiduplah seorang brahmana di Kerajaan Daha, Kediri. Brahmana atau pemuka agama itu bernama Sidhimantra. Ia sangat dihormati oleh masyarakat karena sakti mandraguna. Hidupnya tenang, tentram, dan penuh dengan harta. Ia memiliki seorang istri yang cantik jelita dan juga seorang putra yang tampan dan gagah bernama Manik Angker.
Tapi, ketenangan dan ketentraman yang telah ada di Sidhimantra telah hilang. Hal itu disebabkan karena putranya memiliki sifat yang sangat tercela dan bertentangan dengan dirinya yaitu berjudi.
Baik Sidhimantra maupun istrinya menjadi sangat gelisah. Sebab, Manik Angker selalu berjudi dengan harta orang tuanya, kalah, dan berhutang kepada banyak orang.
Manik Angker tidak mau berhenti berjudi dengan harta orang tuanya. Ia juga selalu tidak mendengarkan nasihat kedua orang tuanya untuk berhenti melakukan perbuatan yang tidak terpuji itu hingga harta benda orang tuanya sudah tidak ada lagi.
Suatu hari, Manik Angker pulang dengan terengah-engah ke rumah. Dengan tergesa-gesa ia mencari bapak dan ibunya.
“Bapak! Ibu! Tolong aku!” teriak Manik Angker dengan panik.
“Ada apa anakku?” kata ibunya.
“Aku dikejar sekelompok orang, mereka ingin membunuhku,” kata Manik.
“Pasti kamu kalah berjudi lagi, ya?!” kata bapaknya.
“Iya! Aku kalah berjudi dan tidak mampu membayar taruhan. Mereka ingin membunuhku. Tolong aku, pak,” kata Manik dengan panik.
Tidak lama kemudian, datanglah sekelompok pemuda dengan parang di tangan mereka. Mereka meneriakkan nama Manik Angker. Ketika mendengar namanya diteriakkan dari luar rumah, Manik langsung panik.
Setelah itu, Sidhimantra menghampiri sekelompok pemuda itu dengan tenang.
“Tenanglah! Saya akan melunasi hutang anak saya. Tapi saya mohon, beri waktu saya tiga hari.” Setelah permintaan disetujui, kelompok pemuda itu segera pergi.
Pada malam harinya, Sidhimantra bersemedi untuk memohon petunjuk dari Tuhan Yang Maha Kuasa agar ia bisa melunasi utang anaknya.
Saat tengah malam, ia terbangun dan mendengar suara yang sangat jelas. Ia diberi petunjuk untuk pergi ke kawah Gunung Agung dan menemui Naga Besukih karena ada harta karun tersimpan di sana.
Sidhimantra segera pergi menuju kawah Gunung Agung dan membunyikan lonceng untuk memanggil Naga Besukih.
Sang Naga bertanya, “Ada apa gerangan yang membuatmu datang kemari dan memanggilku?”
“Nama hamba adalah Sidhimantra berasal dari Tanah Jambudwipa. Hamba datang untuk meminta bantuanmu,” Lalu Sidhimantra memberikan penjelasan maksud kedatangannya. Naga Besukih pun mengerti. Lalu ia mulai menggeliat sehingga emas dan berlian keluar dari sisiknya.
“Silakan bawa semua perhiasan ini, Sidhimantra! Semoga ini cukup untuk melunasi semua hutang putramu. Dan beritahu anakmu, ia harus berhenti berjudi!” pesan Naga Besukih.
Sidhimantra mengucapkan terima kasih kepada Naga Besukih, lalu Sidhimantra kembali ke rumahnya. Sesampainya di sana, ia segera memanggil Manik Angker.
“Manik! Kemarilah, nak,” Lalu ia memberi emas dan berlian yang ia bawa dari Naga Besukih.
“Ini, bayarlah semua utangmu. Tapi ingatlah nak, setelah ini kamu tidak boleh berjudi lagi!” lanjutnya.
Manik Angker segera pergi menjual semua perhiasan itu untuk melunasi utang-utangnya. Namun setelah ia melihat sisa uang yang banyak, ia kembali berjudi dan kalah lagi hingga terlilit hutang lagi.
Ia kembali pulang dan menemui bapaknya, melapor bahwa ia telah melunasi utang-utangnya. Namun, bapaknya bertanya.
“Kenapa wajahmu terlihat sangat sedih, anakku?” tanya bapaknya.
“Aku berjudi dan kalah lagi, pak. Tolonglah kali ini saja, Bapak! Lunasi semua hutangku!” kata Manik.
“Tidak! Bayar sendiri hutangmu! Bapak tidak bisa menolongmu lagi!” jawab Bapak dengan tegas.
Setelah berpikir lama, Manik mencuri lonceng bapaknya dan pergi ke kawah Gunung Agung.
Setibanya di kawah gunung, Manik memanggil Naga Besukih dengan ketakutan yang luar biasa.
“Apa yang kamu inginkan?” tanya Naga Besukih.
“Hamba meminta sebagian emasmu untuk membayar hutang hamba,” kata Manik Angker.
“Aku bisa mengabulkan permintaanmu, tapi kamu harus berjanji berhenti berjudi lagi!” kata Naga.
Namun, ketika Naga Besukih berbalik, Manik Angker justru memotong ekor Naga Besukih yang penuh dengan emas dan berlian.
Naga Besukih sontak marah dan langsung membakar tapak kaki Manik Angker sehingga Manik terbakar dan menjadi abu.
Sementara itu, Sidhimantra mencari anaknya. Lalu ia teringat dengan Naga Besukih dan segera pergi ke Gunung Agung.
Sesampainya di sana, ia bertanya kepada Naga Besukih tentang putranya. Ternyata putranya sudah terbunuh dan menjadi abu. Kemudian ia memohon kepada Naga Besukih agar menghidupkan kembali anaknya.
“Baik, aku kabulkan permintaanmu, Sidhimantra. Tapi anakmu harus tinggal di sini,” kata Naga itu. Sidhimantra pun setuju dengan hal itu.
Setelah hidup kembali, Manik Angker pun meminta maaf kepada bapaknya. Namun, Sidhimantra berkata, “Kita tidak bisa hidup bersama lagi. Kamu harus tetap berada disini.”
Lalu Sidhimantra mengembalikan ekor dari Naga Besukih dan pulang ke Daha seorang diri.
Di tengah perjalanan, Sidhimantra membuat garis dengan tongkat saktinya di tanah. Namun, goresan tongkatnya justru melebar hingga tanah terbelah dan diisi air laut. Hingga akhirnya menjadi selat yang disebut Selat Bali.
Pesan Moral dari Cerita Asal Mula Selat Bali
Pesan moral dari cerita asal mula selat bali adalah hindari kebiasaan berjudi karena judi membuat orang menjadi kecanduan sehingga mengorbankan apa saja untuk memenangkan judi. Pada akhirnya, kamu akan menyesal.
Kemudian turutilah nasihat orang tua kita. Jika kita selalu mendengarkan dan menuruti nasihat orang tua, hidup kita akan aman dan selamat.
Dan jangan menjadi orang yang serakah. Serakah itu tidak hanya berbentuk uang atau kekayaan, melainkan juga waktu. Jangan sampai keserakahan menggerogoti kehidupanmu dan jadilah pribadi yang senantiasa bersyukur dengan apa yang dimiliki saat ini.